Memori di Pagi Hari
Pagi hari yang repot untuk seorang ibu rumah tangga seperti umi yang mempunyai anak banyak dengan jarak lahir yang relatif dekat. Akhirnya beliau sering berinisiatif untuk menyuapi kami saat sarapan agar tidak terlambat berangkat sekolah. Karena berbagai drama dari mulai susah dibangunkan, rebutan kamar mandi, dan mencari kaos kaki saja sudah sangat menguras waktu dan emosi.
Kecil bersamaan dewasa juga barengan. Kalo dulu rumah selalu ramai dengan tangis dan tengkar, sekarang rumah lengang tak berpenghuni. Kamar-kamar hanya terisi saat liburan tiba. Tentu saja selama empat tahun terakhir ini minus satu personil yang sedang 'terjebak' di negeri orang.
Satu persatu juga mulai menyelipkan sebuah nama di tengah obrolan santai antar sesama. Rekomendasi untuk menjadi kandidat baru di tengah keluarga.
Bahkan si bungsu sudah memiliki hubungan yang cukup serius dengan seorang Ikhwan. Katanya sampe pernah mau berkunjung membawa sang Ibu. Tapi umi seakan kurang setuju. Entah hanya karena alasan usia atau emang tak tega dengan anak perempuan tertuanya yang masih belum menunjukkan tanda akan menikah segera. Padahal sudah kuberi lampu hijau saat itu, silahkan saja jalan dulu. Toh di keluarga kami bukanlah sebuah aib jika yang muda mendahului yang tua. Entah kalo tetangga. Ah, apa juga urusan mereka.
Akhirnya si bungsu melanjutkan studinya ke sebuah Ma'had Tahfidz di Jawa. Jadi kemungkinan tahun depan tiga anak Umi dan Bapa lulus pada waktu yang sama. Karena nomor dua memang sudah bekerja, mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk mahar nikah katanya.
"Nanti kalo lulus udah punya calon semua, langsung aja dinikahin masal. Nunggu si Eneng pulang," kata Umi.
Kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi. Yang terpenting saat ini fokus menyelesaikan langkah yang hampir tersisa sepenggalan galah. Setelah itu bertolak menyambut takdir lain yang penuh berkah. Biidznillah.
-Hari kedua belas terkurung di Asrama akibat corona-

Comments
Post a Comment